Breaking News

Tragedi Pilu Negeri Permata

INTERNASIONAL
INDIA
Tragedi Pilu Negeri Permata

Aksi protes merebak di Manipur, India. Dipicu pembunuhan sadis atas Thangiam Manorama. "Penjajahan" dan ketidakadilan meminta perhatian dunia.

LEBIH dari 40 demonstran terluka. Tiga di antaranya harus menjalani operasi darurat karena terkena tembakan peluru karet. Sedangkan puluhan lainnya ditangkapi aparat kepolisian. Bentrokan ribuan pendemo dengan polisi di Imphal, sebuah kota di Negara Bagian Manipur, India, memang tak terelakkan lagi, Senin lalu. Gelombang demonstrasi memang tengah "membakar" Manipur.

Massa yang tertib melakukan protes mendadak berubah brutal, ketika polisi berusaha membubarkan mereka dengan gas air mata. Ketika itu, kerumunan massa di depan bungalo Menteri Besar Manipur di Babupara baru saja akan memulai demo dengan pidato dan yel-yel tuntutan kepada Pemerintah India. Polisi pun berusaha menahan laju mereka dengan membuat barikade.

Namun, massa terus maju menembus blokade itu. Aparat yang kewalahan pun mengeluarkan senjata. Para pendemo meladeni dengan lemparan batu. Pertikaian berlangsung sekitar setengah jam. Tak hanya di Imphal, bentrokan yang sama terjadi di Singjamei, kota di selatan Imphal. Di sana, bentrokan terjadi antara polisi dan Meira Paibis atawa laskar pembawa obor.

Kerumunan sekitar 500 perempuan Meira Paibis yang hendak mengikuti rapat umum dibubarkan aparat dengan gas air mata dan berondongan peluru karet. Sejumlah agitator tertembak dan ditahan. Di bagian barat Singjamei, polisi juga membendung ratusan perempuan yang melakukan parade protes. Para pentolan aksi itu digelandang ke kantor polisi.

Pada waktu hampir bersamaan, ratusan siswa dari 11 sekolah di Imphal menutup jalan-jalan kota, bergabung dengan para pendemo. L. Romesh, pemimpin organisasi guru dan siswa di Manipur, menyatakan bahwa aksi protes mereka bakal berlangsung selama sepekan. "Saya minta semua guru dan siswa se-Manipur ambil bagian dalam protes massa ini," katanya.

Keterlibatan para guru dan pelajar itu adalah bagian dari aksi besar yang digalang 32 pemimpin pelbagai organisasi di Manipur. Mereka menuntut Pemerintah India mencabut AFSPA (Undang-Undang Kekuasaan Khusus Militer). Berdasar aturan yang diundangkan pada 1958 inilah, militer India punya alasan untuk melakukan penyiksaan, pemerkosaan, dan penjarahan di Manipur.

World Press Review menengarai, telah terjadi 18 pembunuhan oleh aparat sejak 5 April lalu. Bagi penduduk Manipur, AFSPA ibarat vonis kematian. Sebab, menurut pasal 4 undang-undang itu, semua personel keamanan diberi kekuasaan tak terbatas dalam menerapkan operasi keamanan di suatu area yang dinilai mengalami gangguan.

Berdasar pasal itu, seorang prajurit yang tak bertugas pun diizinkan menembak dan membunuh meski cuma karena curiga. Bahkan, aparat harus melakukan semua hal yang "menjamin keamanan publik". Undang-undang ASFA juga memberi wewenang tak terbatas kepada militer untuk dapat menembak, menahan, dan menggeledah tanpa peringatan terlebih dulu.

Pasal represif tersebut ditopang pasal 6 yang memberi perlindungan yuridis formal kepada aparat. Isinya mengatakan, tak boleh ada tuntutan hukum kepada militer yang bertindak di bawah AFSPA tanpa izin khusus pemerintah pusat. Atas nama beleid inilah aparat keamanan menumpas gejolak perlawanan penduduk Manipur, yang menuntut otonomi lebih luas dalam bidang politik dan ekonomi.

Namun, tekanan Pemerintah India tak bisa membungkam warga Manipur. Aksi kekerasan justru menyulut keberanian mereka yang tertindas. Contohnya protes atas kematian Thangiam Manorama.

Berdasarkan AFSPA, sebuah memo penahanan dikeluarkan untuk Manorama. Seperti diberitakan Manipurtoday, sekitar pukul 12.30, 11 Juli 2004, beberapa personel Batalyon ke-17 Assam mendobrak rumah wanita 32 tahun itu dan menyeretnya ke luar. Dua adik dan ibu Manorama yang mencoba membela tak luput dari kekerasan. Di teras rumah, mata Manorama ditutup. Ia disiksa selama tiga jam.

Sebelum membawa Manorama, tentara menyodorkan memo penahanan dan "surat tanda tidak kehilangan" untuk diteken keluarga. Padahal, keluarga Manorama menuduh tentara menjarah perhiasan dan uang 5.000 rupe. Dalam memo disebutkan, Manorama ditahan karena berhubungan dengan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA). Selanjutnya, perempuan itu dibawa ke benteng di Kangla, markas Batalyon ke-17 itu.

Manorama tak pernah sampai di Kangla. Beberapa bagian pakaiannya ditemukan tercecer di pinggir jalan, keesokan harinya. Penduduk yang menemukan mayatnya di Ngariyan melihat beberapa luka di sekujur tubuhnya. Sebuah tusukan pisau melukai paha kanan, sayatan di paha bagian dalam dan kelamin Manorama. Tanda memar tertinggal di dada, ditambah lima bekas tembakan di punggung.

Mayat perempuan yang memiliki nama lain Henthoi Devi itu diotopsi di rumah sakit setempat. Namun, hasilnya tak pernah dipublikasikan. Keluarga Manorama menolak mayatnya karena menuntut tuntas penyelidikan atas kasus itu. Protes pun merebak.

Y. Ibeni, ketua organisasi wanita All Manipur Nupi Marup, mengutuk pembunuhan itu. "Dalam situasi perang pun, wanita tak layak menerima perlakuan sepeti itu," katanya. Ibeni menyayangkan, mengapa tak ada tentara wanita hadir dalam penangkapan. Demonstrasi paling mengenaskan terjadi pada 15 Juli. Empat puluh wanita melakukan aksi telanjang bulat di depan markas Batalyon ke-17.

Mereka merentangkan dua spanduk putih bertuliskan aksara merah: "Indian Army rape us" dan "Indian Army takes our flesh". "Kami ingin menghukum tentara yang terlibat," kata Memchaoubi Devi, Ketua Penegak Hak Asasi Perempuan, Porei Lemoral Phaibi Apunba Manipur, pada saat ia menggalang aksi demo telanjang itu.

Sebuah komite independen yang belakangan dibentuk mengklarifikasi bahwa Manorama tak terkait dengan pemberontak di negara bagian itu. Beberapa organisasi lain melayangkan memorandum kepada O. Ibobi, Menteri Besar Manipur, meminta penghapusan AFSPA yang menjadi sumber kebiadaban itu.

Selain AFSPA, warga Manipur juga memprotes pemberlakuan status restricted area permit (RAP). Aturan itu menetapkan tujuh negara bagian di ujung timur laut India, termasuk Manipur, sebagai daerah terisolasi. Siapa pun yang bukan warga India wajib mendapat visa khusus untuk masuk ke wilayah itu. Visa ini berlaku hanya 14 hari. Khusus di Imphal, malah hanya berlaku tiga hari.

Aturan itu sangat represif, karena Kashmir yang lebih bergejolak saja tak punya peraturan seperti itu. Kedua beleid, AFSPA dan RAP, dinilai menjadi sumber masalah karena memberi peluang kepada tentara melakukan kekejaman. RAP juga telah mengebiri keindahan daerah Manipur, yang berarti "negeri permata", dari kemungkinan menjadi daerah tujuan wisata.

G.A. Guritno dan Zulkifli Marbun

http://gatra.icom/2004-08-06/majalah/artikel.php?pil=14&id=42947&crc=1855408664