Breaking News

Contoh Tulisan 1 Julkifli Marbun

KESEHATAN
MALPRAKTEK
Bantalan Menjepit Nasib

Diduga karena malpraktek, pasien di Rumah Sakit Pusat Pertamina jadi cacat permanen. Ia melaporkan sang dokter ke polisi.

ABDUL Ghofar pasrah. Pria berusia 55 tahun asal Temanggung, Jawa Tengah, itu tidak bisa lagi melakukan aktivitas rutin seperti sediakala. Jangankan melakoni pekerjaan yang menuntut kekuatan otot dan mobilitas tinggi, untuk jongkok saja ia tidak kuasa. "Sakitnya bukan main," kata bapak tiga anak ini. Bisa saja Ghofar memaksakan diri, ketika salat misalnya. Tetapi kemampuannya berjongkok tidak lebih dari tiga menit.

Yang membuat warga Griya Bintara Indah, Bekasi, ini lebih menderita adalah gangguan pencernaan dan metabolisme tubuh. Buang air besar dan air kecil tidak pernah teratur. "Hampir setiap jam sekali," kata Ghofar kepada Julkifli Marbun dari Gatra. Perut sering mulas. Di saat yang sama, lubang anus terasa sakit seperti ditusuk-tusuk benda tajam.

Penderitaan arsitek kapal pada Divisi Engineering dan Penelitian, Direktorat Hilir Pertamina, ini makin lengkap ketika ia juga mengalami disfungsi seksual. Ketika berjalan, ia selalu sempoyongan. Maklum, saat ini kaki kirinya mulai mengecil, bahkan sering timbul bengkak-bengkak. Tak cuma itu. Ketika berjalan, rasa nyeri segera menyergap sendi-sendi kaki. Makanya, ia harus dibantu orang lain dan menggunakan tongkat.

Derita Ghofar ini bermula ketika ia berharap memperoleh kesembuhan saat berobat ke Rumah Sakit Pusat Pertamina, 11 Maret 2003. Ketika itu, tulang punggungnya disergap rasa nyeri. Ghofar ditangani oleh Dokter Norman Zainal, ahli bedah ortopedi di rumah sakit itu. Menurut Zainal, salah satu saraf pada tulang punggung Ghofar terjepit. Untuk itulah perlu dilakukan operasi HNP (herniasis nucleus pulpous) keesokan harinya.

Ghofar tidak menyangka, operasi inilah yang mengantarkan dirinya menjadi cacat seumur hidup seperti sekarang. Tanda-tanda adanya ketidakberesan dalam operasi ia rasakan beberapa saat setelah operasi usai. Tiba-tiba sekujur tubuhnya, dari pantat hingga ujung kaki, lumpuh. "Ujung kaki seperti dikasih beban sangat berat," kata Ghofar. Selain lumpuh, pada seluruh ujung kaki hingga perut timbul bercak-bercak darah di bawah kulit. Perutnya pun keram dan mengeras setiap lima jam.

Karena kondisi Ghofar makin parah, Dokter Norman Zainal segera melakukan CT-Scan, MRI (magnetic resonance imaging), dan X-Ray. Hasilnya, Ghofar harus dioperasi kedua kalinya. Karena di tulang punggungnya terjadi infeksi akibat darah yang tidak bersih pada operasi pertama. Masa menunggu operasi kedua, 24 Maret 2003, Ghofar mengaku begitu tersiksa. "Untuk berobat harus dipapah," kata istri Ghofar, Martini Budi Astuti.

Setelah dua bulan lebih dirawat, Ghofar diperbolehkan pulang. Tapi, lebih dari setahun operasi usai, penderitaan Ghofar yang bertumpuk-tumpuk itu tidak juga hilang. Karena penasaran, ia lantas berinisiatif konsultasi ke Dokter Rahim Purba, ahli bedah saraf di Rumah Sakit Pusat Pertamina di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Oleh Dokter Purba inilah Ghofar diberi surat rujukan untuk berkonsultasi kepada Profesor Dr. Padmo Santjojo, ahli bedah saraf Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, guna mendapatkan pendapat kedua (second opinion), 26 Mei 2004.

Ia kaget bukan kepalang, ketika Profesor Padmo mengatakan bahwa bantalan pada salah satu ruas tulang punggungnya hilang. Sontak Ghofar lemas. Lebih-lebih setelah Profesor Padmo meminta Ghofar tidak dioperasi lagi. "Dari situ saya yakin, tidak ada harapan kesembuhan," kata Ghofar. Meskipun selama pengobatan Pertamina harus merogoh kocek lebih dari Rp 300 juta, ia --didampingi kuasa hukumnya, Hermansyah Dulaimi, SH-- melaporkan Dokter Norman Zainal ke polisi, pada 14 Juni. "Saya hanya ingin membersihkan institusi kedokteran dari citra buruk," kata Ghofar.

Ketika Deni M.B. dari Gatra menemui Norman Zainal, dokter ini mengaku belum bisa memberikan tanggapan. "Karena ini soal institusi," katanya. Demikian pula Rumah Sakit Pusat Pertamina. Menurut Kepala Humas Rumah Sakit Pusat Pertamina, Erlina P.M., pihaknya masih menunggu kebijakan dari Direktur, Dr. Sutji A. Mariono. "Kami belum bisa menanggapi," katanya. Namun, pihaknya aktif menampung informasi yang masuk.

Bagi Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Fachri Idris, dugaan malpraktek semacam ini hendaknya tidak dibawa ke pengadilan umum, tapi dibuka di pengadilan disiplin. Di pengadilan umum, hakim tak memahami kaidah teknis ilmu kedokteran. "Saksi ahli yang didatangkan cenderung menyalahkan dokter," kata Idris kepada Mochamad Ghufron dari Gatra. Masalahnya, pengadilan disiplin belum ada di sini.

http://gatra.icom/2004-07-02/majalah/artikel.php?pil=14&id=40737&crc=-238585650

KESEHATAN
Sembuh Tidak, Duit Terkuras

Obat bermerek untuk penderita AIDS dipersoalkan kualitasnya. Obat mahal itu membuat virus AIDS makin kebal. Jumlah virus tetap bertambah, dan sistem kekebalan kian anjlok. Pengombinasian beberapa obat bisa menghindari resistensi virus.

FIRMAN, bukan nama sebenarnya, sepintas tampak segar. Pria ini seperti tak pernah lelah ketika memberikan penyuluhan acquired immune deficiency syndrome (AIDS) di Yayasan Pelita Ilmu, Kebon Baru, Jakarta Selatan. Yayasan Pelita Ilmu adalah lembaga yang menangani penderita AIDS. Di situ terdapat rumah singgah sementara.

Bahkan, Kamis pekan lampau, warga Jakarta ini pergi ke Bogor untuk memberikan penyuluhan serupa kepada sejumlah perusahaan yang berkantor di sana. Ia kelihatan tak memedulikan penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Sudah satu tahun ini, Firman dideteksi sebagai pengidap human immunodeficiency virus (HIV), penyebab AIDS. Disebut pengidap lantaran belum terkena penyakit penyerta AIDS, seperti kanker kulit sarkoma kaposi dan radang paru-paru (lihat bagan).

Setelah tahu positif terjangkit virus penyebab AIDS, Firman minum obat anti-AIDS generik buatan Thailand. Obat tersebut merupakan kombinasi tiga komponen: nevirapine berdosis 200 mg, lamivudine 150 mg, dan stavudine 40 mg. Tapi ia terkejut ketika meminum obat itu. Rambut kepalanya mulai rontok. Tak lama kemudian, tubuhnya lunglai.

"Saya tak bisa jalan lebih dari tiga langkah. Wah, capek sekali dan napas tersengal-sengal," ujar Firman kepada wartawan Gatra Ruwi Wulan. Dia tambahkan, sekujur badannya juga terasa gatal tak keruan, perut mual dan muntah. "Setiap satu menit usai menenggak obat, saya muntah," katanya. Beruntung, itu cuma berlangsung dua bulan. Setelah itu, gejala-gejala tak nyaman tersebut lenyap.

Firman beruntung tak menenggak obat bermerek. Sebab, obat paten itu kini tengah disorot. Adalah TREAT Asia --sebuah lembaga yang melibatkan sejumlah klinik, rumah sakit, dan lembaga riset yang disponsori American Foundation for AIDS Research, Manhattan, Amerika Serikat-- yang mempersoalkannya.

Dalam enam hari Konferensi Internasional AIDS di Bangkok, Thailand, yang berakhir Jumat lalu, TREAT Asia menyodorkan sejumlah temuan menarik. Disebutkan, dari 27 perusahaan obat paten untuk AIDS, hanya tiga perusahaan yang produknya memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sayangnya, TREAT tak menyebutkan nama-nama perusahaan tadi.

Menurut TREAT, obat-obat tersebut tidak menghambat pertumbuhan virus, melainkan justru membuat virus AIDS makin kebal terhadap pengobatan. Jumlah virus terus bertambah, dan sistem kekebalan kian anjlok.

Yang dirugikan tentu pasien penderita HIV-AIDS. Di dunia, kini ditaksir jumlahnya 38 juta jiwa. Sedangkan di Indonesia, menurut laporan terakhir Departemen Kesehatan per 30 Juni lalu, ada 2.685 pengidap HIV dan 1.525 penderita AIDS. Lagi pula, obat paten AIDS terbilang mahal. Saban bulan, pasien merogoh paling tidak Rp 1,5 juta. Padahal, pasien harus mengonsumsi obat itu seumur hidup. Sudah terkuras, kesembuhan pun makin jauh. Maka, TREAT Asia memandang perlu mekanisme yang lebih baik untuk mengontrol kualitas obat.

Temuan itu terang saja mengagetkan. "Saya tak percaya begitu banyak perusahaan yang terlibat dan rendahnya dokter-dokter yang terlatih mengobati AIDS," ujar Joep Lange, Presiden Masyarakat AIDS Internasional. Kalau hasilnya begitu, ia pun menganjurkan pasien mengonsumsi obat generik yang lebih murah. Obat generik boleh dibilang 2-4 kali lebih murah ketimbang obat bermerek.

Zubairi Djoerban, ahli penyakit AIDS pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mengatakan bahwa masalah resistensi terjadi pada semua obat, tak terkecuali obat AIDS. Ambil contoh AZT. Sewaktu AZT diperkenalkan kembali sebagai obat tunggal, orang berharap banyak bisa sembuh dengan AZT. Tapi ternyata, obat itu justru mempercepat resistensi virus. "Dalam satu bulan pemakaian, virus sudah tak mempan dibasmi AZT," katanya.

Karena itu, para dokter lalu mengombinasikan tiga obat. Tujuannya, menghindari resistensi virus dalam waktu lebih lama. Kalau nantinya virus tadi resisten, dokter akan memberikan kombinasi obat yang lain. Sebab, kini sudah ada beragam obat AIDS. Selain AZT, ada lamivudine, ddC, ddI, dan sebagainya.

Sementara itu, Sigit Prohutomo, Kepala Sub-Direktorat AIDS dan Penyakit Menular Seksual, Departemen Kesehatan, mengatakan bahwa virus menjadi resisten lantaran pasien tak teratur mengonsumsi obat. "Sekali pasien stop minum, virus AIDS langsung tumbuh cepat dan bermutasi," ujarnya kepada Julkifli Marbun dari Gatra. Sebab, ketika diterapi, virus tidak mati. Ia hanya ngumpet.

Handojo Pradono, Head of Medical Magement PT Roche Indonesia, mengatakan bahwa resisten virus banyak terjadi pada pemakaian obat tunggal. "Kalau pada obat kombinasi, resistensi bisa dikurangi, meski tidak hilang," katanya. Dua produknya bermerek Hivid dan Fuzeon juga terbukti menurunkan kadar HIV sampai tak terdeteksi.

Soal harga, pihaknya juga menjual obat AIDS tertentu yang murah, tanpa memasukkan biaya riset ke dalam komponen harga. Sedangkan untuk Indonesia yang termasuk dalam kelompok negara menengah versi WHO, akan diberikan harga khusus.

http://gatra.icom/2004-07-23/majalah/artikel.php?pil=14&id=42102&crc=-782418322

MUSIK
Hari Proklamusik

Ahad dan Senin lalu menjadi hari penting buat komunitas world music di Tanah Air. Mereka kini punya paguyuban resmi.

SEJAK pukul tiga sore, Ahad lalu, Jalan Thamrin dipenuhi warga Jakarta. Mereka menunggu acara rutin saban peringatan hari ulang tahun DKI Jakarta, yaitu karnaval. Itulah hari saat warga Jakarta berdiri di pinggir jalan menyambut mobil-mobil hias dari berbagai instansi di Jakarta.

Tapi, tahun ini Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta menyajikan acara berbeda. Walau judulnya sama, Karnaval Jakarta, materinya jauh lebih berkelas. Iring-iringan mobil hias malah hanya jadi preambul.

Sebagai gantinya, tampil pertunjukan musik sejumlah nama beken. Misalnya Krakatau, Gilang Ramadhan, Djaduk Ferianto dan Kua Etnika, Sapto Raharjo dan Inisisri, Sujiwo Tedjo, Mahagenta, Bamboo Orchestra, Viky Sianipar, Adjie Rao, Angga Tarmizi, Marusja Nainggolan, Syaharani, Didi AGP, dan Riza Arsyad.

Seperti dilaporkan wartawan Gatra Julkifli Marbun, para musisi ini tidak tampil di panggung seperti pada umumnya. Melainkan di pinggir-pinggir jalan, mulai depan Bank Indonesia sampai bundaran Hotel Indonesia. Tentu saja, aksi mereka mendapat perhatian ekstra dari masyarakat yang hadir. Kapan lagi melihat Syaharani dari dekat, bukan?

Ngamen di pinggir jalan itu berakhir pukul 17.00. Seluruh musisi kemudian berkumpul di panggung utama di depan Hotel Indonesia. Pertunjukan di atas panggung berukuran 4 x 10 meter ini adalah puncak karnaval hari itu.

Dari atas panggung, "Raja Monolog" Butet Kertaredjasa membacakan Proklamusik: "Kami, bangsa musik bersemangat lintas budaya, menyatakan kemerdekaan bermusik, hal-hal yang mengenai kualitas bermusik dan lain-lain diselenggarakan atas nama kebebasan kreatif dan diselesaikan dalam tempo yang selama-lamanya sepanjang zaman. Jakarta 25 Juli 2004, atas nama bangsa musik lintas budaya."

Lalu sebuah pertunjukan bernama Jakarta Circle Rhytm of Percussion digelar. Sebanyak 477 pemain perkusi (jumlahnya sengaja disesuaikan dengan ulang tahun DKI Jakarta) memadati panggung itu, sambung-menyambung memainkan peralatan mereka. Ribuan pasang mata yang menyaksikan pertunjukan itu larut dalam goyangan irama perkusi, yang seperti tak berniat berhenti. Pertunjukan tadi pun masuk dalam catatan Museum Rekor Indonesia.

Keesokan malamnya, pendukung acara Karnaval Jakarta itu kembali berkumpul di Jalan Minangkabau, Jakarta Selatan. Di sana, sebuah acara penting menunggu, yaitu peresmian Indonesian World Music Community (IWC). Kontras dengan acara sehari sebelumnya, peresmian IWC berlangsung sederhana (yang meriah adalah pesta ulang tahun ke-28 Viky Sianipar, yang berlangsung di tempat yang sama).

Pengurus IWC pun diperkenalkan satu per satu. Monang Sianipar (ketua), Wawan Juanda (wakil ketua), Gideon Momongan (sekretaris), Marusja Nainggolan (humas), dan Bob Gultom (bendahara). Sebait doa syukur dipanjatkan kepada Yangkuasa sebelum Ketua IWC menyampaikan pidato perdananya.

"IWC dibentuk untuk mempromosikan aliran musik ini kepada masyarakat Indonesia dan dunia," kata Monang Sianipar kepada Julkifli Marbun dari Gatra. "Merdeka dulu-lah, soal bagaimana mengisi kemerdekaan itu, nanti kita pikirkan bersama-sama," ia menambahkan.

Pengurus IWC memang belum membeberkan apa saja program kerja mereka saat ini. Namun, Wawan Juanda memberi isyarat bahwa IWC sudah menyiapkan segala sesuatu untuk menyelaraskan program mereka dengan kegiatan yang sudah ada. "Dulu kami berangkat sendiri-sendiri. Dengan adanya IWC, semuanya akan digabungkan," katanya.

Wawan mengambil contoh kegiatan MAD Quarter (baca Gatra Nomor 32), acara bertema world music tiap tiga bulan. "Kalau MAD Quarter menjadi sirkuit tempat musisi world music Indonesia memperlihatkan kemampuan, IWC akan berperan sebagai paguyuban untuk menampung para musisi, pemerhati musik, dan sebagainya," papar Wawan.

Kalimat terakhir Wawan bisa diartikan secara harfiah. Pasalnya, kantor pusat IWC adalah juga kompleks bernama Viky Sianipar Music Center. Di tempat itu, para musisi bisa melakukan sejumlah kegiatan musik. "Infrastrukturnya sudah ada. Para musisi tinggal menyesuaikan dengan kebutuhan mereka," kata Wawan.

Acara malam itu ditutup dengan sejumlah konser dadakan dan jam session. Kelompok The Fly dan Edane ikut naik panggung dan menyumbangkan lagu. Namun, yang paling menarik perhatian adalah jam session yang melibatkan Ron Reeves, Djaduk Ferianto (keduanya memainkan kendang), Sujiwo Tedjo (saksofon), Kompyang Raka (gondang Batak), Inisisri (drum), Marusja Nainggolan (keyboard), dan Eet Syahranie (apa lagi kalau bukan gitar) dalam satu panggung.

Eet yang mewakili musik Barat ternyata bisa juga larut dalam ketukan pentatonik Batak dan Sunda, walau awalnya sempat bingung hendak masuk dari mana. "Sudah sah-lah IWC kita ini," kata Yeppy Romero, dedengkot musik Latin, yang malam itu juga unjuk kebolehan dengan permainan gitar flamenco-nya.

Carry Nadeak

http://gatra.icom/2004-07-30/majalah/artikel.php?pil=14&id=42666&crc=745258849

INTERNASIONAL
Reparasi Mesin Macet Demokrasi

Sultan Brunei berniat menghidupkan parlemen. Namun, tanpa keterbukaan politik dan pers, apa manfaatnya?

PADA ulang tahunnya yang ke-58, Kamis pekan lalu, Sultan Hassanal Bolkiah memberi sebuah hadiah kejutan bagi rakyatnya. "Brunei akan membuka kembali parlemen untuk pertama kali sejak 40 tahun. Ini sebagai upaya untuk memberdayakan rakyat," katanya. Seriuskah dia? Sultan yang juga menjabat sebagai kepala negara dan pemerintahan Brunei sejak 1967 itu tentu tidak main-main.

Dalam pidato yang disiarkan secara nasional, Sultan menandaskan bahwa ia memberi prioritas pada upaya memperluas kesempatan kepada publik untuk bisa memberi kontribusi pada kemajuan negara. Karena itu, katanya, sebuah struktur formal untuk memberdayakan harus didirikan. "Untuk itu, saya memutuskan untuk mengaktifkan kembali dewan legislatif," katanya, seperti dilaporkan AFP.

Sultan yang juga perdana menteri, Menteri Pertahanan, dan Menteri Keuangan ini mengatakan, parlemen akan dibuka "dalam waktu dekat". Tanpa merinci kerangka waktunya. Tak adanya acuan waktu membuat banyak kalangan menanggapi sinis keputusan itu. "Usaha itu bisa dikatakan terlambat," kata Profesor Muhammad Abu Bakar, Dekan Fakultas Studi Strategis dan Internasional Universitas Malaya.

Dalam wawancara Radio Internasional Singapura, Profesor Abu Bakar menyatakan, mesin demokrasi yang macet hampir 40 tahun tak akan begitu saja bisa dijalankan. Pasalnya, faktor pendorong internal tak terlalu kuat. Lagi pula, keinginan Brunei untuk melangkah ke jalan demokrasi hanyalah imbas arus globalisasi demokrasi, seperti perubahan kepemimpinan di negara Asia.

Memang, masih perlu ditunggu apakah "tawaran" Sultan itu benar-benar merupakan akibat langsung makin menguatnya desakan rakyat untuk mengambil porsi yang lebih besar dalam kehidupan politik. Hal itu bisa dilihat kelak dari wajah orang yang mau mengisi kursi parlemen. Apakah didominasi kalangan keluarga Sultan ataukah para politisi.

Brunei, yang menjadi protektorat Inggris sejak 1888, pernah memiliki dewan legislatif. Namun, parlemen itu dibubarkan pada 1962 oleh Sultan Omar Ali Saifuddin, ayah Sultan yang kini berkuasa. Waktu itu, Partai Rakyat Brunei yang berhaluan kiri memenangkan 10 kursi dari 21 kursi dewan yang diperebutkan.

Partai sosialis itu menghendaki hak-hak berdemokrasi yang penuh dan meminta sistem monarki diakhiri. Namun, permintaan itu tak dikabulkan. Akibatnya, meletuslah perlawanan bersenjata. Pemerintahan dengan cepat menumpas revolusi itu dengan bantuan pasukan Inggris. Sultan Omar lalu menyatakan negara dalam keadaan bahaya dan membatalkan pemilu. Partai Rakyat pun dinyatakan terlarang.

Namun, sumber resmi pemerintah menyebutkan, pertikaian itu dipicu dua kepentingan yang berseberangan. Sultan ingin bergabung dengan koloni Inggris lain seperti Serawak, Sabah, dan Semenanjung Malaysia. Sementara Partai Rakyat cuma ingin bergabung dengan Serawak dan Sabah. Akhirnya, pada 1963, Brunei memutuskan tetap menjadi protektorat Inggris, tak bergabung dengan Federasi Malaysia.

Empat tahun kemudian, Sultan Hassanal Bolkiah didaulat menggantikan ayahnya, Sultan Omar. Laporan Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan pada akhir Maret 2003 menyebutkan, beberapa orang yang terlibat dalam kudeta 1962 ditahan tanpa pengadilan selama 12 tahun, sebagian bisa melarikan diri ke pengasingan di Malaysia.

Pada pertengahan 1990-an, mereka mulai kembali ke Brunei dan ditangkapi. Mereka dilepaskan dari tahanan setelah bersedia bersumpah untuk setia pada Sultan dan mengaku telah melakukan "kejahatan" politik. Beberapa dari mereka dianugerahi kedudukan dalam pemerintahan. Pemimpin pemberontakan 1962, Sheikh Azahari bin Sheikh Mahmud, meninggal dalam pengasingan di Indonesia.

Sejak pemberontakan kaum sosialis itu, Sultan mencanangkan berbagai kebijakan untuk menyejahterakan rakyat. Layanan pendidikan dan kesehatan diberikan secara gratis. Para orang tua mendapat pensiun yang layak. Janda, yatim-piatu, dan fakir miskin dipelihara negara. Popularitas Sultan pun naik. Kini negara berpenduduk 345.000 dengan pendapatan per kapita lebih dari US$ 14.000 itu termakmur di dunia.

Pada 1970, dengan formasi dewan legislatif yang baru, pemilihan umum kedua dilakukan. Partai Oposisi menang lagi, namun untuk kedua kalinya dewan dibubarkan. Pada 1971-1984, terjadi amandemen UUD 1959. Undang-undang itu mengatur kerangka kerja untuk administrasi negara. Dalam proses itu, beberapa pasal yang berhubungan dengan pemilihan umum dan dewan legislatif diubah.

Sebuah pemerintahan dengan kabinet diterapkan untuk pertama kalinya sejak merdeka dari Inggris pada 1984. Perubahan dilakukan untuk memberi penekanan pada status baru Brunei sebagai negara yang berdaulat penuh, baik dalam urusan dalam negeri maupun kebijakan luar negeri dengan negara lain.

Setahun setelah Brunei merdeka, pemerintah membuka keran demokrasi. Penguasa melegalkan berdirinya Partai Demokratik Nasional Brunei (BNDP). Menyusul pada 1986, Partai Solidaritas Nasional Brunei (BNSP) diakui. Sayang, ketika demokrasi baru mulai bisa bernapas, mendadak kedua partai itu dibekukan oleh Sultan. BNDP dibubarkan karena meminta Sultan mundur sebagai perdana menteri.

Di Brunei, sebagaimana Laporan Hak Asasi Manusia, selain kehidupan politik yang terkekang, kebebasan berbicara dan pers pun masih terbelenggu. Di bawah aturan keadaan darurat yang diterapkan sejak 1962, pemerintah membatasi kebebasan mengeluarkan pendapat. Bahkan pada Oktober 2001, pemerintah mengeluarkan peraturan yang makin membatasi kebebasan pers.

Beberapa pembatasan itu, antara lain, kewajiban mengantongi izin bagi koran lokal serta persetujuan pemerintah untuk mempekerjakan staf redaksi dan jurnalis asing. Pendistribusian media asing juga dibatasi. Mereka terlebih dulu harus mendapat izin dari pemerintah. Undang-undang itu juga memberi wewenang pada pemerintah untuk menutup koran tanpa harus menunjukkan alasan.

Wartawan yang menerbitkan laporan "palsu dan menyesatkan" dalam versi pemerintah akan dikenai denda dan hukuman penjara. Medianya tak akan dibiarkan lagi beredar di negara itu. Semua itu ditempuh pemerintah dengan dalih untuk melindungi kepentingan publik, moral, dan keamanan nasional.

Tetapi, penggunaan faksimili, internet, dan akses parabola yang makin meningkat membuat pemerintah kesusahan membatasi masuknya berita asing. Toh, toleransi pemerintah atas kritik tak pernah teruji karena memang tak ada oposisi yang terorganisasi. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) pun jumlahnya segelintir. Itu pun cuma LSM lokal yang merupakan asosiasi bisnis dan sosial. LSM internasional tak ada yang beroperasi.

Kuatnya pengaruh Sultan dalam pemerintahan didukung Inggris yang punya kepentingan ekonomi besar di Brunei. Bahkan sampai kini, Inggris masih menempatkan pasukan khusus Gurkha Resimen Kedua untuk menjaga istana Sultan. Kekuasaan monarki absolut dinilai mampu memelihara perdamaian, stabilitas, dan kemajuan ekonomi-sosial.

Menurut pemerhati masalah ASEAN, Alfitra Salam, langkah yang hendak ditempuh Sultan Bolkiah tak lain merupakan dampak gelombang reformasi yang mencuat di mana-mana. "Pengaruh eksternal itu membuat Brunei merasa terkucilkan dan menggugahnya untuk menghidupkan kembali sistem parlemen," kata Ahli Peneliti Utama Pusat Studi Politik LIPI itu.

Dorongan itu, menurut Alfitra, juga muncul dari para akademisi yang baru balik dari luar negeri dan kini mengisi kursi birokrasi. Toh, bentuk parlemen itu nanti masih belum jelas. "Bisa saja hanya simbolik dan diisi single majority pendukung eksekutif," katanya. Hal itu mengingat lapisan penguasa isinya kebanyakan berasal dari kalangan keluarga kerajaan sendiri.

Memang, demokrasi di Brunei masih remang-remang. Sultan memang memberi tanda akan melaksanakan rekomendasi yang dikeluarkan oleh komite yang dibentuknya untuk mengkaji ulang UUD 1959. Tapi, ia masih enggan menyerahkan posisi sebagai pemimpin negara. "Adalah tanggung jawab saya sebagai sultan dan kedaulatan untuk membentuk masa depan negara dan memberi kenyamanan kepada warga," katanya. Akankah kemakmuran ampuh meninabobokan hasrat berdemokrasi?

G.A. Guritno dan Julkifli Marbun
http://gatra.icom/2004-07-23/majalah/artikel.php?pil=14&id=42135&crc=-1671817488


INTERNASIONAL
INDIA
Tragedi Pilu Negeri Permata

Aksi protes merebak di Manipur, India. Dipicu pembunuhan sadis atas Thangiam Manorama. "Penjajahan" dan ketidakadilan meminta perhatian dunia.

LEBIH dari 40 demonstran terluka. Tiga di antaranya harus menjalani operasi darurat karena terkena tembakan peluru karet. Sedangkan puluhan lainnya ditangkapi aparat kepolisian. Bentrokan ribuan pendemo dengan polisi di Imphal, sebuah kota di Negara Bagian Manipur, India, memang tak terelakkan lagi, Senin lalu. Gelombang demonstrasi memang tengah "membakar" Manipur.

Massa yang tertib melakukan protes mendadak berubah brutal, ketika polisi berusaha membubarkan mereka dengan gas air mata. Ketika itu, kerumunan massa di depan bungalo Menteri Besar Manipur di Babupara baru saja akan memulai demo dengan pidato dan yel-yel tuntutan kepada Pemerintah India. Polisi pun berusaha menahan laju mereka dengan membuat barikade.

Namun, massa terus maju menembus blokade itu. Aparat yang kewalahan pun mengeluarkan senjata. Para pendemo meladeni dengan lemparan batu. Pertikaian berlangsung sekitar setengah jam. Tak hanya di Imphal, bentrokan yang sama terjadi di Singjamei, kota di selatan Imphal. Di sana, bentrokan terjadi antara polisi dan Meira Paibis atawa laskar pembawa obor.

Kerumunan sekitar 500 perempuan Meira Paibis yang hendak mengikuti rapat umum dibubarkan aparat dengan gas air mata dan berondongan peluru karet. Sejumlah agitator tertembak dan ditahan. Di bagian barat Singjamei, polisi juga membendung ratusan perempuan yang melakukan parade protes. Para pentolan aksi itu digelandang ke kantor polisi.

Pada waktu hampir bersamaan, ratusan siswa dari 11 sekolah di Imphal menutup jalan-jalan kota, bergabung dengan para pendemo. L. Romesh, pemimpin organisasi guru dan siswa di Manipur, menyatakan bahwa aksi protes mereka bakal berlangsung selama sepekan. "Saya minta semua guru dan siswa se-Manipur ambil bagian dalam protes massa ini," katanya.

Keterlibatan para guru dan pelajar itu adalah bagian dari aksi besar yang digalang 32 pemimpin pelbagai organisasi di Manipur. Mereka menuntut Pemerintah India mencabut AFSPA (Undang-Undang Kekuasaan Khusus Militer). Berdasar aturan yang diundangkan pada 1958 inilah, militer India punya alasan untuk melakukan penyiksaan, pemerkosaan, dan penjarahan di Manipur.

World Press Review menengarai, telah terjadi 18 pembunuhan oleh aparat sejak 5 April lalu. Bagi penduduk Manipur, AFSPA ibarat vonis kematian. Sebab, menurut pasal 4 undang-undang itu, semua personel keamanan diberi kekuasaan tak terbatas dalam menerapkan operasi keamanan di suatu area yang dinilai mengalami gangguan.

Berdasar pasal itu, seorang prajurit yang tak bertugas pun diizinkan menembak dan membunuh meski cuma karena curiga. Bahkan, aparat harus melakukan semua hal yang "menjamin keamanan publik". Undang-undang ASFA juga memberi wewenang tak terbatas kepada militer untuk dapat menembak, menahan, dan menggeledah tanpa peringatan terlebih dulu.

Pasal represif tersebut ditopang pasal 6 yang memberi perlindungan yuridis formal kepada aparat. Isinya mengatakan, tak boleh ada tuntutan hukum kepada militer yang bertindak di bawah AFSPA tanpa izin khusus pemerintah pusat. Atas nama beleid inilah aparat keamanan menumpas gejolak perlawanan penduduk Manipur, yang menuntut otonomi lebih luas dalam bidang politik dan ekonomi.

Namun, tekanan Pemerintah India tak bisa membungkam warga Manipur. Aksi kekerasan justru menyulut keberanian mereka yang tertindas. Contohnya protes atas kematian Thangiam Manorama.

Berdasarkan AFSPA, sebuah memo penahanan dikeluarkan untuk Manorama. Seperti diberitakan Manipurtoday, sekitar pukul 12.30, 11 Juli 2004, beberapa personel Batalyon ke-17 Assam mendobrak rumah wanita 32 tahun itu dan menyeretnya ke luar. Dua adik dan ibu Manorama yang mencoba membela tak luput dari kekerasan. Di teras rumah, mata Manorama ditutup. Ia disiksa selama tiga jam.

Sebelum membawa Manorama, tentara menyodorkan memo penahanan dan "surat tanda tidak kehilangan" untuk diteken keluarga. Padahal, keluarga Manorama menuduh tentara menjarah perhiasan dan uang 5.000 rupe. Dalam memo disebutkan, Manorama ditahan karena berhubungan dengan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA). Selanjutnya, perempuan itu dibawa ke benteng di Kangla, markas Batalyon ke-17 itu.

Manorama tak pernah sampai di Kangla. Beberapa bagian pakaiannya ditemukan tercecer di pinggir jalan, keesokan harinya. Penduduk yang menemukan mayatnya di Ngariyan melihat beberapa luka di sekujur tubuhnya. Sebuah tusukan pisau melukai paha kanan, sayatan di paha bagian dalam dan kelamin Manorama. Tanda memar tertinggal di dada, ditambah lima bekas tembakan di punggung.

Mayat perempuan yang memiliki nama lain Henthoi Devi itu diotopsi di rumah sakit setempat. Namun, hasilnya tak pernah dipublikasikan. Keluarga Manorama menolak mayatnya karena menuntut tuntas penyelidikan atas kasus itu. Protes pun merebak.

Y. Ibeni, ketua organisasi wanita All Manipur Nupi Marup, mengutuk pembunuhan itu. "Dalam situasi perang pun, wanita tak layak menerima perlakuan sepeti itu," katanya. Ibeni menyayangkan, mengapa tak ada tentara wanita hadir dalam penangkapan. Demonstrasi paling mengenaskan terjadi pada 15 Juli. Empat puluh wanita melakukan aksi telanjang bulat di depan markas Batalyon ke-17.

Mereka merentangkan dua spanduk putih bertuliskan aksara merah: "Indian Army rape us" dan "Indian Army takes our flesh". "Kami ingin menghukum tentara yang terlibat," kata Memchaoubi Devi, Ketua Penegak Hak Asasi Perempuan, Porei Lemoral Phaibi Apunba Manipur, pada saat ia menggalang aksi demo telanjang itu.

Sebuah komite independen yang belakangan dibentuk mengklarifikasi bahwa Manorama tak terkait dengan pemberontak di negara bagian itu. Beberapa organisasi lain melayangkan memorandum kepada O. Ibobi, Menteri Besar Manipur, meminta penghapusan AFSPA yang menjadi sumber kebiadaban itu.

Selain AFSPA, warga Manipur juga memprotes pemberlakuan status restricted area permit (RAP). Aturan itu menetapkan tujuh negara bagian di ujung timur laut India, termasuk Manipur, sebagai daerah terisolasi. Siapa pun yang bukan warga India wajib mendapat visa khusus untuk masuk ke wilayah itu. Visa ini berlaku hanya 14 hari. Khusus di Imphal, malah hanya berlaku tiga hari.

Aturan itu sangat represif, karena Kashmir yang lebih bergejolak saja tak punya peraturan seperti itu. Kedua beleid, AFSPA dan RAP, dinilai menjadi sumber masalah karena memberi peluang kepada tentara melakukan kekejaman. RAP juga telah mengebiri keindahan daerah Manipur, yang berarti "negeri permata", dari kemungkinan menjadi daerah tujuan wisata.

G.A. Guritno dan Zulkifli Marbun

http://gatra.icom/2004-08-06/majalah/artikel.php?pil=14&id=42947&crc=1855408664

PENDIDIKAN
Terlalu Diam, Banyak Omong

Dengan tujuan, fokus, dan besarnya yang bervariasi, sejumlah perusahaan memberikan beasiswa kepada mahasiswa. Bagaimana kiat mendapatkannya?

MENGENAKAN celana panjang warna gelap, kemeja putih, dan jilbab hijau. Wajahnya tanpa polesan kosmetik. Gadis kelahiran Pasuruan, Jawa Timur, 5 Januari 1978, bernama Yulia Kurniawati ini memang tampak tak beda dengan perempuan lainnya. "Saya orang biasa yang lulus dengan kebiasaan saya," Yulia mengungkap rahasianya menggondol program beasiswa magister manajemen dari Sampoerna Foundation (SF).

Yulia boleh menilai dirinya biasa. Tapi kepiawaiannya membuat tim panel pewawancara dari Magister Manajemen (MM) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, kesengsem. Lulusan Fakultas Manajemen Universitas Brawijaya (Unibraw), Malang, itu ingat satu momen penting dalam tes wawancara. Saat itu, Yulia ditanya perihal rencana lima tahun ke depan selepas studi MM. Ia segera menyodorkan tiga rencana, plus siasat apabila gagal.

Rencana pertama, bekerja pada perusahaan multinasional selama dua tahun. Lalu pulang kampung untuk membuka lapangan pekerjaan dari hasil kerja dua tahun itu. Bila gagal, masuk rencana kedua: pulang kampung dan langsung membuka lapangan kerja. Jika gagal juga, pulang kampung dan nyambi jadi dosen. Uniknya, dalam ketiga rencana itu ada unsur "pulang kampung". Rencana ini diambil Yulia sebagai respons membanjirnya anak-anak muda ke kota. "Tak ada lagi yang membangun desa," katanya, heroik.

"Oh, rupanya kamu ingin menjadi Ibu Theresa," komentar seorang penguji. "...Saya belum pernah membaca kisah Ibu Theresa," jawab Yulia, tangkas. "Saya tidak sedang menyulam angan, melainkan sebuah bisnis dengan 10 pekerja. Tidak muluk," ia melanjutkan. Akhirnya, "Selamat Yulia, Anda layak mendapat beasiswa," kata penguji.

Menjadi diri sendiri, kata Yulia, amat penting dalam menjalani tes wawancara. Tentu, "diri sendiri" yang dimaksud adalah pribadi yang tangguh dan trengginas. Menjawab rencana ke depan, bagi Yulia, haruslah mengakar di rumput. Artinya, rencana mesti objektif dan realistis. Bukan impian di awang-awang yang sulit digapai. Lebih gawat lagi jika si pelamar beasiswa ternyata tak mampu menggariskan rencananya ke depan.

Yulia hanyalah anak seorang petani. Ketika masih kuliah, gadis yang jago menggambar ini nyambi mendesain tas dan stiker. Hasilnya lumayan untuk menambal kebutuhan hidup. Karena kefakirannya, ia tak pernah membayangkan bisa kuliah di MM UGM yang biayanya Rp 40 juta. Namun, beasiswa SF membuatnya tak lagi pusing soal biaya. Nah, di saat lembaga pendidikan makin komersial dan tidak terjangkau kantong orang-orang seperti Yulia, lembaga pemberi beasiswa menjadi salah satu jalan keluar.

SF termasuk lembaga favorit yang diserbu banyak peminat. SF adalah yayasan yang didirikan oleh perusahaan rokok PT HM Sampoerna pada 2001. Sampoerna bukanlah satu-satunya perusahaan yang peduli pendidikan. Jauh sebelumnya, ada Yayasan Toyota Astra yang didirikan PT Astra International dan perusahaan rokok PT Djarum Kudus. Juga ada perusahaan elektronik LG, General Electric (GE) Indonesia, dan yang lain.

Tentu tidak mudah meraih beasiswa. Maklum, selain persaingannya ketat, setiap lembaga memasang syarat masing-masing. Ada yang gampang, ada yang sulit. Fokus, tujuan, dan besarnya beasiswa tiap-tiap lembaga juga tidak sama. Di sinilah pentingnya mengenali ciri-ciri beasiswa agar tidak salah pinang.

LG, misalnya, hanya memberi beasiswa pada mahasiswa jurusan mesin, elektronika, kimia, dan telekomunikasi dari empat universitas: Unibraw, UGM, ITS, dan Undip. "Di daerah inilah banyak mahasiswa miskin," kata Fajar Supriady, HRD Manager LG, kepada Miranda Hutagalung dari Gatra.

GE punya sasaran lain. Menurut Corporate Communication GE Indonesia, Shakuntala Sutoyo, lewat Indonesia International Education Foundation (IIEF), perusahaan ini menggelontorkan dana US$ 64.000 selama periode 2002-2007 kepada mahasiswa UGM, UI, ITB, dan Undip. Sasarannya: mereka yang kesulitan keuangan. Urusan pengucuran beasiswa berikut administrasinya diserahkan kepada mitra (IIEF).

Sementara Yayasan Toyota Astra (Toyota), dari enam program rutin yang digelar tiap tahun --beasiswa reguler S-1, beasiswa politeknik, beasiswa top student grant, beasiswa pascasarjana, bantuan penelitian tesis, dan bantuan kegiatan ilmiah mahasiswa-- ditujukan pada bidang studi teknik, MIPA, pertanian, kehutanan, dan perikanan.

Beasiswa reguler S-1, misalnya, ditujukan kepada mahasiswa kurang mampu dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) minimal 2,8 dan sudah duduk di semester V atau VII. Proses seleksi dilakukan bersama antara Toyota dan perguruan tinggi penerima beasiswa. "Karena mereka yang paling tahu," kata Hendratmaka, Sekretaris Toyota, kepada Ajeng Ritzki Pitakasari dari Gatra.

SF punya orientasi pada penguatan bisnis dan ekonomi. "Tujuannya memang untuk membangkitkan kembali sektor bisnis dan ekonomi Indonesia," kata Naomi Jamarro, Communication Officer SF. Makanya, sasarannya adalah orang-orang ekonomi. Beasiswa S-1, misalnya, hanya diberikan kepada 30 mahasiswa fakultas ekonomi dan bisnis dari UGM, UI, Unpad, dan Unair. Tahun lalu, hanya mahasiswa jurusan manajemen yang kebagian. Tapi tahun ini, sasaran diperluas ke ilmu studi pembangunan dan akuntansi.

Begitu pula program MM dan MBA (master of business administration). Kedua jenis beasiswa ini hanya memberi kesempatan pada praktisi bisnis dan ekonomi yang ingin memperdalam ilmunya. Tempat belajar 30 orang penerima beasiswa MM ditentukan di UI, UGM, Unair, Unpad, IPB, IPMI, dan sekolah bisnis Prasetya Mulya. Sedangkan tujuh orang penerima beasiswa MBA mesti lolos di top 25 universitas bisnis di Amerik Serikat.

SF selain mensyaratkan kemampuan inteligensia seperti IPK minimal 2,9 dan TOEFL minimal 550, kecerdasan emosionalnya juga dipertimbangkan. "Kami mencoba mengulik sisi kepribadiannya," kata Naomi. Apa yang dicari? Lewat tes personal profile review, SF hendak menggali potensi penerima beasiswa untuk menjadi pemimpin yang memiliki kepekaan sosial dan memberi sumbangan bagi masyarakat. Khusus beasiswa MM dan MBA, ada syarat sudah berpengalaman kerja selama dua tahun.

Besarnya beasiswa masing-masing tidak sama. LG, misalnya, memberi dana Rp 0,5 juta per bulan selama setahun kepada 13 mahasiswa, khususnya mereka yang kuliahnya akan berakhir. Makanya, ada tambahan dana skripsi sebesar Rp 1,5 juta per orang. Setelah lulus, mereka diikat kerja selama setahun di LG. "Cara ini terbukti efektif untuk perekrutan tenaga kerja," kata Fajar Supriady. Namun, ikatan itu tidak mutlak.

Sementara Toyota memberi beasiswa Rp 120.000 per bulan selama setahun. Bila prestasinya bagus, beasiswa tersebut bisa diperpanjang. Dari berbagai lembaga tadi, beasiswa SF termasuk yang paling komplet. Beasiswanya tidak hanya uang kuliah, melainkan juga mencakup biaya hidup, buku, dan uang internet. Bagi MM, ada biaya riset segala.

Sedangkan untuk penerima MBA, malah ada asuransi kesehatan, biaya visa, fasilitas komputer, dan ongkos penerbangan pergi-pulang. Bila dirupiahkan, MM jumlahnya Rp 60 juta-Rp 66 juta dan MBA US$ 100.00-US$ 150.000. "Nominalnya tergantung daerah studi," kata Naomi.

Tidak mengherankan bila syarat memperoleh beasiswa SF relatif sulit. Namun, pemburu beasiswa tidak perlu takut. Ada sejumlah kiat yang bisa ditiru. Menurut Fazar Wibisono, penerima beasiswa SF tahun 2001 yang lulus MM UI tahun lalu, pemberi beasiswa tak hanya melihat aspek akademis. "Mereka juga mempertimbangkan aktivitas sosial calon penerima," kata Fajar kepada Julkifli Marbun dari Gatra.

Ia mencontohkan dirinya. Ketika kuliah, Fajar nyambi kerja di Toyota di divisi training. Ia sudah melanglang ke Jakarta, Sumatera, dan Kalimantan. "Intinya, kita mesti menyeimbangkan antara kehidupan akademis dan aktivitas sosial, baik di senat maupun di LSM," kata Fajar. Setelah lulus MM UI, kini Fajar kapok jadi orang kantoran. "Jenuh," katanya. Makanya, ia kini memilih menjadi konsultan, fasilitator, dan peneliti.

Yulia Kurniawati mengingatkan, melengkapi syarat administrasi sekomplet mungkin juga amat penting. Mengirim aplikasi dengan cermat dan lengkap menjadi bukti keseriusan. Ia sendiri sampai berburu ke Malang untuk mencari surat rekomendasi dan surat aktif di organisasi kemahasiswaan. "Lamaran saya tebal," katanya.

Naomi memberi saran: istirahat yang cukup sebelum tes dan bersikap tenang menghadapi ujian. Dalam tes diskusi dan presentasi grup, harus tahu kapan menjadi pemimpin diskusi dan kapan mesti jadi pendengar. Terlalu diam, atau sebaliknya, banyak omong, seringkali sulit lolos. Suka ngomong, misalnya, bisa dipandang egois dan tak mau mendengar orang lain. "Intinya, bukan asal bicara, melainkan bicara yang berbobot," kata Yulia.

Khudori, dan Puguh Windrawan (Yogyakarta)

http://gatra.icom/2004-08-06/majalah/artikel.php?pil=14&id=42945&crc=1554065562

KRIMINALITAS
PENANGKAPAN
Porno Terlacak Label Tiki

Pedagang benda porno di Malang diringkus petugas Cyber Crime Polda Metro Jaya. Dagangannya dijajakan melalui internet. Sempat laris manis.

KEPINGIN punya VCD porno, tapi ogah nyari di pasar gelap. Mau nyobain kelamin tiruan, tapi jengah ke toko obat kuat yang menjual alat bantu seksual tersebut. Kenapa tak mencarinya di toko maya? Tinggal klik situs internet tertentu, pesan yang diinginkan, lalu transfer uangnya. Dijamin, dalam beberapa hari pesanan tiba selamat.

Cukup banyak konsumen yang lebih suka cara ini. Nah, ini dipahami betul oleh Johnny Indrawan Yusuf alias Hengky Wiratman. Lelaki 32 tahun ini segera meluncurkan situs www.vcdporno.com. Situs ini terdaftar pada Network Solution, LLC, 13200 Woodland Park Drive, Herndon, VA 20171-3025, Amerika Serikat. Domainnya atas nama Lily Wirawan/Johnny Jusuf, dengan alamat 20 Sill Wood Place, Sydney, 2171, Australia.

Hasilnya langsung terasa, meski tak terlalu besar. Menurut Johnny, sejak beroperasi November silam, keuntungan yang diraihnya Rp 5 juta-Rp 10 juta per bulan. Tanpa perlu capek menggelar dagangan secara fisik. Saban bulan, ratusan pelanggan di Nusantara melayangkan pesanannya kepada Johnny.

Polisi bertindak. Akhir Juli lalu, Johnny dicokok berikut sejumlah barang bukti, seperti perangkat komputer, paket berisi VCD/DVD porno, dan KTP palsu atas nama Hengky Wiratman. "Tersangka dijerat dengan Pasal 282 KUHP tentang kesusilaan di depan umum," kata Kepala Satuan Cyber Crime Polda Metro, Ajun Komisaris Besar Polisi Petrus Reinhard Golose, kepada Julkifli Marbun dari Gatra.

Menurut Petrus, pengungkapan kasus ini bukanlah kebetulan semata. Juga bukan merupakan tindak lanjut polisi terhadap laporan masyarakat. Adalah Petrus dan anak buahnya yang rajin "berpatroli" di internet. Sasarannya, situs-situs yang diduga melanggar hukum, termasuk situs porno dan sejenisnya, terutama pornografi anak. Mei silam, polisi masuk ke situs www.vcdporno.com milik Johnny.

Ternyata, situs itu yang sementara ini tak bisa diakses lagi --tapi dua situs serupa milik Johnny, www.pusatvcd.com dan www.tokosex.com, masih bisa dikunjungi-- selain memajang gambar porno juga menawarkan film porno dalam bentuk keping VCD dan DVD, serta gambar porno untuk screensaver. Tak ketinggalan, dijajakan pula aneka alat bantu aktivitas seksual seperti penis dan vagina tiruan.

Situs ini kelihatan seperti situs e-commerce lainnya. Johnny, yang mengaku belajar internet dari temannya di luar negeri, kelihatan sangat menguasai strategi berjualan di jalur maya. Beberapa tawaran ditampilkan secara menarik, ada diskon pula. Setiap pembelian VCD/DVD yang berharga Rp 15.000-Rp 35.000, atau alat bantu seksual yang Rp 80.000-Rp 950.000, akan mendapat korting 15%, plus garansi. Barang dikirim 24 jam setelah pemesanan.

Johnny mencantumkan empat cara pembayaran, lengkap dengan petunjuknya. Bisa melalui mobile banking, anjungan tunai mandiri, transfer bank, dan internet banking. Setelah formulir pesanan diisi, pembeli mentransfer uang ke rekening atas nama Hengky Wiratman yang beralamat di Jalan Jambu Blok J, Sidoarjo, Jawa Timur. Johnny menyediakan sejumlah rekening bank atas nama palsunya itu.

Polisi sempat melacak alamat di Sidoarjo ini, namun ternyata palsu. Belakangan, digunakanlah taktik lain. Seorang polisi ditugasi memesan beberapa keping VCD porno. Pesanan itu pun diterima. Nah, dari label pengiriman diketahui, barang tersebut dikirim melalui jasa PT Tiki JNE, Malang, Jawa Timur.

Polisi kemudian bergerak ke Malang, nyanggong di sekitar PT Tiki. Pengintaian ini di-back up petugas polres setempat. Benarlah, pada 28 Juli itu, Johnny yang tinggal di Purwodadi, Malang, datang ke kantor Tiki membawa 56 paket berisi VCD/DVD porno. Tanpa kesulitan, polisi meringkus Johnny.

Rupanya, lelaki itu menjadi pelanggan PT Tiki Malang sejak setahun lalu. Dua kali sepekan Johnny mengirim barangnya, biasanya 10-15 koli. Menurut Darmini, Pimpinan Cabang Tiki JNE, kiriman tersebut kebanyakan ditujukan ke Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. "Tapi kirimannya meliputi seluruh Indonesia juga," kata Darmini.

Johnny selalu membungkus kirimannya dengan amplop cokelat. Terhadap pelanggan potensial ini, petugas Tiki tak mengusik perihal isi paket. "Pernah kami tanya apa isi paket. Dijawab, isinya CD program pesanan perusahaan," Darmini menuturkan. Di bagian alamat pengirim, Johnny mencantumkan "Marketing United Data Pty. Ltd.", tanpa alamat jelas. Maksudnya, untuk menghindari pelacakan pihak berwajib. Syukur, polisi masih lebih cerdik.

Taufik Alwie, dan Arif Sujatmiko (Surabaya)

EKONOMI & BISNIS
PELABUHAN JAKARTA
Sengketa Rambu Pelabuhan Baru

Jakarta New Port mulai dibangun. Menjadikan Jakarta sebagai water front city, laiknya Pelabuhan Yokohama di Jepang. Sebagai penguasa pelabuhan, Pelindo tak terima.

SAAT melawat ke Yokohama, tahun lalu, Sutiyoso begitu kagum melihat pelabuhan modern di sebuah kota di pantai timur Pulau Honshu, pulau utama di Jepang. Bagi Gubernur DKI Jakarta ini, dermaga internasional yang berlokasi di tepi barat laut Teluk Tokyo itu layak ditiru. Sebuah pelabuhan multifungsi yang menjadikan Yokohama sebagai water front city, pintu masuk dari perairan. Tak hanya sebagai pintu lalu lintas barang impor-ekspor, melainkan juga jadi persinggahan kapal pesiar, pengangkut wisatawan asing ke Jepang.

Setiba di Tanah Air, dari muhibah ke kota yang terletak sekitar 30 kilometer arah selatan Tokyo, ibu kota Jepang, itu mantan Panglima Kodam Jaya ini mulai mengumpulkan bawahannya. Ide Sutiyoso kemudian digodok dengan serius sejak awal tahun ini. Sutiyoso sendiri memang ngebet betul: Jakarta harus punya pelabuhan yang bakal membuat ibu kota negara ini menjadi water front city.

Ide Sutiyoso itu mulai diterjemahkan Senin pekan lalu. Orang nomor satu DKI itu memencet tombol sebagai awal pembangunan pelabuhan internasional yang diberi nama Jakarta New Port. Acara berlangsung di Gelanggang Olahraga Air Bahtera Jaya, Ancol, Jakarta Utara. Hadir dalam acara itu, antara lain, bos Mahaka Group Erick Thohir, bos Arpeni Pratama Ocean Line Oentoro Soerya, dan Kepala Staf Komando Armada Barat (Armabar) Laksamana Pertama Muklas Sidik.

Erick Thohir dan Oentoro Soerya hadir dalam kapasitas sebagai pemilik Marindo Bahtera Development. Perusahaan ini adalah mitra yang digandeng Pemprov DKI untuk membangun pelabuhan. Marindo siap mengucurkan fulus Rp 4,5 trilyun, sebesar biaya konstruksi pelabuhan yang luasnya 425 hektare --sepertiga Yokohama Port-- di Ancol Timur, Jakarta Utara, itu.

Erick Thohir memang bukan orang baru bagi Sutiyoso. Keduanya pernah bersama-sama mengembangkan dunia bola basket Indonesia. Sutiyoso adalah Ketua Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (Perbasi) hingga pertengahan Juli. Sedangkan Erick, yang juga pemilik Mahaka, salah satu klub peserta Kompetisi Bola Basket Utama, jadi wakil Sutiyoso. Bos koran Republika ini kemudian menggantikan Sutiyoso sebagai orang nomor satu di Perbasi setelah Sutiyoso memilih mengomandani Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia.

Sedangkan Oentoro adalah bos Arpeni, perusahaan jasa pengangkutan kontainer. Oentoro tentu paham betul bisnis pelabuhan karena selalu berkecimpung di dalamnya. Keluarga Oentoro juga dikenal sebagai "raja tanker" di Indonesia lewat Berlian Laju Tanker-nya. Perusahaan ini jadi mitra penting Pertamina dalam penyediaan tanker untuk keperluan ekspor-impor minyak.

Pemprov DKI juga berkongsi dengan Armabar. Kerja sama ini dilakukan karena kebetulan juga Armabar mau membangun dermaga kapal perangnya di Ancol. Dari kerja sama itu, baik Pemprov DKI maupun Armabar tak perlu merogoh kocek. Karena menyediakan lahan, Pemprov DKI mendapat jatah kepemilikan saham pelabuhan 5%. Armabar memperoleh jatah dermaga yang mampu disinggahi 30 kapal perang. Marindo kebagian tugas mengelola pelabuhan.

Pembangunan pelabuhan akan dilakukan secara bertahap hingga 2010. Mulai Senin lalu hingga Desember tahun depan, dibangun tanggul pemecah ombak (break water). Setelah itu, berturut-turut hingga 2010 dilakukan pekerjaan reklamasi, pembangunan terminal otomotif dan multipurpose, perkantoran, pusat bisnis, sarana umum dan sosial, serta pembangunan 15 dermaga. Masing-masing dermaga punya panjang 2.400 meter dengan kedalaman laut 12 meter.

Pembangunan Jakarta New Port ini, kata Sutiyoso, untuk mendukung Pelabuhan Tanjungpriok yang mulai padat. Saat ini, sebanyak 50 hingga 60 kapal mesti antre untuk bongkar muat di dermaga. Kapasitas terminal kontainer yang ada di Tanjungpriok pun sudah mendekati titik jenuh. Empat terminal peti kemas di Tanjungpriok hanya berkapasitas 2,5 juta TEUs. Satu TEUs setara dengan peti kemas ukuran 20 kaki kubik. Pada 2007, kapasitas di sana diperkirakan sudah jenuh.

Toh, peresmian megaproyek Jakarta New Port itu langsung mengundang protes PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II. "Pelindo punya hak pengelolaan kawasan di tempat bakal berdiri Jakarta New Port itu," kata Hendra Budhi, Humas Pelindo II, kepada Julkifli Marbun dari Gatra. Budhi menyodorkan bukti izin reklamasi dari Gubernur DKI Nomor S-391/MK 16/tahun 1994, yang sudah beberapa kali diperpanjang. Di luar itu, Budhi juga menunjukkan izin pengelolaan kawasan itu dari Menteri Perhubungan, pada tahun yang sama.

Saat ini, PT Manggala Krida Yudha, mitra Pelindo II, sedang melakukan pengurukan tanah di kawasan yang kelak berdiri Jakarta New Port. Dari 500 hektare kawasan yang akan direklamasi, 15 hektare di antaranya sudah diuruk dengan tanah. Pelindo II, kata Budhi, merasa kecolongan oleh aksi Sutiyoso. Sebab, menurut Budhi pula, mereka tak mendapat pemberitahuan resmi tentang pembangunan pelabuhan internsional baru di Jakarta itu.

Pembangunan pelabuhan yang dilakukan Pemprov DKI dan swasta, kata Budhi, juga menyalahi aturan. Rambu yang dilanggar adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 2001 tentang Pelabuhan. Isinya menyebutkan, pengelola pelabuhan nasional dan internasional adalah BUMN, dalam hal ini Pelindo. Sedangkan pemerintah daerah hanya boleh mengelola pelabuhan lokal atau antarprovinsi. Kalaupun pemerintah provinsi tetap ngotot membangun pelabuhan internasional, kata Hendra, Pelindo II harus dilibatkan. "PP-nya yang ngomong begitu," ujarnya.

Sutiyoso juga punya argumen. Pembangunan Jakarta New Port tak melanggar aturan. Sutiyoso mendasarkan argumennya pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. Isinya, Pemprov DKI juga berwenang di kawasan pelabuhan. "Ini acuannya undang-undang, tidak ngawur-ngawuran. Mereka (Pelindo) yang tidak mengerti undang-undang," katanya, sengit. Toh, belakangan Sutiyoso melunak dan siap berdialog dengan Pelindo II.

Irwan Andri Atmanto dan Rachmat Hidayat


http://gatra.icom/2004-08-06/majalah/artikel.php?pil=14&id=42938&crc=-331333550